Mendidik anak menjadi shalih dan shalihah bukan diawali sejak anak itu lahir. Bahkan upaya ini dimulai sebelum seseorang memasuki jenjang pernikahan. Yaitu, ketika proses menemukan pasangan hidup yang shalih dan shalihah.
Di bawah ini adalah dua kisah yang sering kita baca. Kisah tentang orang tua yang shalih. Dari mereka lahir orang-orang yang mulia. Inilah kisah tentang nenek dari raja yang mulia, Umar bin Abdul Aziz dan imam yang mulia, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit.
Walau sudah sering diulang, semoga untaian hikmah di dalamnya masih bisa kita teguk. Manisnya dapat kita rasakan dan memberikan hikmah dalam kehidupan rumah tangga yang kita jalani.
Kisah Nenek Umar bin Abdul Aziz
Waktu itu, malam gelap gulita. Amirul Mukminin Umar bin Khathab bersama Aslam pembantunya melakukan patroli di jalan-jalan kota Madinah.
Setelah beberapa lama, khalifah Umar merasa lelah dan duduk menyandarkan dirinya di dinding sebuah rumah. Tak disangka, terdengar percakapan dari balik dinding rumah.
“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata seorang ibu.
“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab seorang gadis.
“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”
“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.
Mendengar ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis saking harunya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.
Umar berkata kepada pembantunya, “Hai Aslam, tandailah rumah dan lokasi ini.” Lalu Umar melanjutkan ronda sampai pagi.
Pada pagi harinya, Umar berkata, “Wahai Aslam, pergilah selidiki kedua wanita itu. Cek apakah mereka sudah bersuami?”
Aslam lalu bergegas menyelidiki keadaan dua wanita tersebut. Ternyata putri wanita itu masih gadis dan belum bersuami. Aslam kemudian melaporkan hal ini kepada khalifah Umar.
Umar lalu memanggil dan mengumpulkan anak-anaknya. Diceritakan kondisi gadis yang didengarnya semalam. Kemudian beliau menanyakan siapakah diantara anak-anaknya yang ingin menikah.
Abdullah dan Abdurrahman menjawab bahwa mereka sudah menikah. Kemudian anak Umar yang lain, ‘Ashim menjawab,
“Aku belum menikah, nikahkanlah aku dengan gadis itu.”
Ibnu Abd Al-Hadi mengatakan, “… dari perkawinan itu, ‘Ashim dikaruniai seorang anak perempuan, lalu anak perempuan itu melahirkan Umar bin Abdul Aziz.”
(dikutip dengan penyesuaian bahasa dari buku “The Great Leader, 255” dan situs “Kisah Muslim”).
Kisah Tsabit bin Nu’man
Tsabit bin Nu’man memakan sebuah apel yang jatuh dari pohonnya. Ketika selesai beberapa gigitan, ia tersadar bahwa apel yang dimakan bukanlah miliknya. Ia kemudian mencari pemilik kebun apel untuk meminta kerelaannya.
Ternyata tempat tinggal pemilik kebun jaraknya cukup jauh. Hingga sehari perjalanan. Namun Tsabit bertekad menempuh perjalanan jauh demi kerelaan pemilik apel tersebut.
“Aku tak boleh memakan sesuatu tanpa seizin pemiliknya.” katanya di dalam hati. Sebab Nabi telah bersabda, “Setiap tubuh yang tumbuh dari makanan yang haram akan dimasukkan neraka.”
Tsabit menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya di sebuah rumah, di ucapkanlah salam, kemudian keluarlah seorang lelaki tua.
“Saya telah memakan sepotong apel yang jatuh dari kebun Anda. Saya datang kesini hendak meminta kerelaan Anda atas apel yang telah saya makan. Ini adalah apel yang tersisa.” kata Tsabit menyampaikan maksud kedatangannya.
Sang pemilik kebun memperhatikan Tsabit dan apel yang telah digigitnya. Lama kemudian ia berkata, “Nak, aku tidak merelakan apel ini kamu makan kecuali kamu memenuhi syarat dariku.”
“Apa syaratnya?” tanya Tsabit.
Lelaki tua itu menjawab, “Engkau harus menikahi putriku. Namun harus engkau tahu, putriku adalah orang yang buta, bisu, tuli dan lumpuh. Kalau engkau setuju dengan syarat ini, maka aku akan merelakan apel yang telah engkau makan.”
Tsabit terkejut dengan syarat yang diajukan. Ia merenung alangkah beratnya beban yang harus diemban karena memakan sepotong apel.
Si pemilik kebun kembali menegaskan, “Tanpa memenuhi syarat ini, aku tidak akan memaafkanmu.”
Tsabit menutupi wajahnya dengan kedua tangannya sambil membaca ayat, “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).”
“Bagaimana?” tanya si pemilik kebun.
Akhirnya Tsabit menjawab, “Baiklah, aku akan menikahi putrimu.”
Tsabit menerima syarat ini karena berharap pemilik kebun bersedia memaafkannya. Merelakan apel yang telah dimakannya. Ia berharap pahala yang sempurna ketika mau menikahi gadis yang buta, bisu, tuli dan lumpuh tersebut.
Malam harinya, Tsabit masuk ke kamar istrinya. Terbayang di pikirannya istrinya seorang yang tuli. Namun Tsabit tetap mengucapkan salam. Ia berpikir bahwa malaikat akan tetap menjawab salamnya.
“Assalamu’alaykum.” ucap Tsabit.
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarokaatuh.”
Sebuah jawaban yang lembut terdengar. Ia heran, apakah malaikat bisa menjawab salam yang bisa didengar. Tsabit menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapa pun kecuali istri yang membelakanginya.
“Apakah kamu sudah shalat isya?” istrinya menoleh kepadanya. Tampaklah seraut wajah yang teramat cantik laksana bulan purnama.
“Ayahmu telah memberitahuku bahwa kamu buta, bisu, tuli dan lumpuh.”
“Ayahku telah berkata benar.” kata istrinya. “Aku buta karena tidak pernah melihat hal-hal yang Allah haramkan. Aku bisu karena tak pernah menggunjing, mengadu domba dan berkata dusta. Dan aku lumpuh lantaran kakiku hanya aku pakai untuk menaati Allah.”
(dikutip dengan penyesuaian bahasa dari buku “Biografi Imam Empat Mazhab, 22”).
Subhanallah, inilah kisah orang tua dari imam yang mulia, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, salah satu dari imam mazhab yang empat.
Tips Menemukan Pasangan Shalih: Shalihkan Dirimu!
Dua kisah di atas adalah cerita orang-orang shalih dalam menemukan pasangannya. Lantas bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menemukan pasangan yang shalih/shalihah.
Bagi yang belum menikah, maka kesempatan untuk menemukan lelaki yang shalih atau wanita yang shalihah masih terbuka lebar. Teruslah perbaiki hubunganmu dengan Allah. Semoga dengannya kamu dipertemukan dengan jodoh yang baik.
Bagaimana yang sudah terlanjur menikah dengan pasangan kita sekarang. Apakah pasangan kita termasuk orang yang shalih/shalihah? Kalau ternyata tidak shalih, berarti kita salah pilih?
Tentu tidak, karena jodoh seseorang sudah Allah tetapkan 50 ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Kita tidak bisa mengklaim bahwa pasangan hidup kita sekarang adalah sebuah kesalahan.
Dan tentunya kita tidak mungkin mengurai pernikahan yang sudah terjalin indah selama ini. Bagaimanapun kondisi pasangan kita sekarang, maka ini adalah hal yang patut kita syukuri. Adapun kekurangan yang ada perlahan kita benahi.
Maka jalan yang paling tepat adalah dengan mengupgrade diri menjadi orang yang shalih. Sebagaimana kisah seorang tabi’in yang mulia, Sa’id bin Musayyab yang menambah rakaat shalatnya karena teringat anaknya.
“Sungguh aku menambah rakaat shalatku karena teringat dengan anakku.”
Sa’id bin Musayyab
Korelasinya, dengan melakukan ibadah shalat maka iman seseorang akan bertambah. Hal ini sesuai dengan definisi dasar iman menurut ahlus sunnah.
Iman itu perkataan dan perbuatan, perbuatan dan perkataan, niat yang ikhlas dan sesuai dengan sunnah. Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah sesuai kehendak Allah, dan berkurang hingga tidak tersisa darinya sedikit pun.
Syarhus Sunnah, Imam al-Barbahari
Ketika level iman seseorang bertambah, maka insya Allah level keshalihannya bertambah. Hal ini akan berpengaruh kepada keshalihan seorang anak. Sebagaimana kemaksiatan berpengaruh, maka keimanan juga akan memberi pengaruh.
Seorang salaf pernah mengatakan, “Aku melihat kemaksiatan dari kelakuan istri dan anakku.”
So, inilah beberapa pelajaran yang bisa kita petik hikmahnya.
- Anak yang shalih berasal dari orang tua yang shalih dan shalihah.
- Hendaknya seseorang mengutamakan agama dan akhlak dalam memilih pasangan.
- Bersegera dalam kebaikan, karena Umar Radhiyallahu ‘anhu tidak menunggu lama untuk melamar gadis yang shalihah di atas.
- Orang tua agar bersegera menjodohkan anaknya jika bertemu lelaki baik.
- Hendaknya orang tua jeli dan meneliti dalam mencari calon pasangan anaknya.
- Hindari harta yang haram atau syubhat.
- Orang-orang yang shalih, Allah akan mempertemukannya dengan jodoh yang shalih dan shalihah. Sesuai dengan diri mereka. Walau mereka tidak secara langsung berusaha mencari jodoh.
Kesimpulannya, mendidik anak agar menjadi shalih/shalihah dimulai dengan mendapatkan pasangan hidup yang shalih.
Ketika proses pencarian sudah selesai, dan biduk rumah tangga sudah terlanjur dikayuh, maka janganlah kapal itu di tenggelamkan. Namun teruskanlah berlayar sambil terus memperbaiki kekurangan yang ada.
Semoga dengan lelahnya perjalanan, akan menghasilkan nahkoda yang handal. Dan darinya terwujud anak-anak yang menjadi pelayar-pelayar yang tangguh karena menempuh tempaan dan pengalaman yang banyak. Allohu a’lam.
Referensi
- Al-Atsary, Abu Ihsan. Mendidik Generasi Rabbani. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
- Al-Barbahari, Abu Muhammad Al-Hasan b. Ali b. Khalaf. Syarhus Sunnah. Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2017.
- Ash-Shalabi, Dr. Muhammad. The Great Leader of Umar bin Khathab. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
- Asy-Syinawi, Abdul Aziz. Biografi Imam Empat Mazhab. Jakarta: Beirut Publishing, 2016.
- https://kisahmuslim.com/386-nenek-umar-bin-abdul-aziz.html (diakses 24 Juni 2020, pukul 20.30 WIB).